SEJARAH ETIKA
1. Etika periode Yunani
Penyelidikan
para ahli Filsafat tidak banyak memperhatikan masalah Etika. Kebanyakan dari
mereka melakukan penyelidikan mengenai alam. Misalnya; bagaimana alam ini
terjadi? Apa yang menjadi unsur utama alam ini? dan lain-lain. Sampai akhirnya
datang Sophisticians ialah orang yang bijaksana yang menjadi guru dan
tersebar ke berbagai negeri.
Socrates
dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Karena ia yang pertama berusaha dengan
sungguh-sungguh membentuk perhubungan manusia dengan ilmu pengetahuan. Dia berpendapat
akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kacuali bila didasarkan
ilmu pengetahuan.[2]
Faham Antisthenes,
yang hidup pada 444-370 SM. Ajarannya mengatakan ketuhanan itu bersih dari
segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia itu yang berperangai dengan akhlak
ketuhanan. Maka ia mengurangi kebutuhannya sedapat mungkin, rela dengan
sedikit, suka menanggung penderitaan, dan mengabaikannya. Dia menghinakan orang
kaya, menyingkiri segala kelezatan, dan tidak peduli kemiskinan dan cercaan manusia
selama ia berpegangan dengan kebenaran.
Pemimpin
aliran ini yang terkenal adalah Diogenes, wafat pada 323 SM. Dia memberi
pelajaran kepada kawan-kawannya untuk menghilangkan beban yang dilakukan oleh ciptaan
manusia dan peranannya.[3]
Setelah
faham Antisthenes ini, lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli
Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam
Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani.
Di dalam jiwa itu ada kekuatan bermacam-macam, dan keutamaan itu timbul dari
perimbangan dan tunduknya kepada hukum.[4]
Pokok-pokok
keutamaan itu adalah Hikmat kebijaksana, keberanian, keperwiraan, dan keadilan.
Hal ini merupakan tiang penegak bangsa-bangsa dan pribadi. Seperti yang kita
ketahui bahwa, kebijaksanaan itu utama untuk para hakim. Keberanian itu untuk
tentara, perwira itu utama untuk rakyat, dan adil itu untuk semua. Pokok-pokok
keutamaan itu memberikan batasan kepada manusia dalam setiap perbuatannya, agar
ia melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya.
Kemudian
disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato. Pengukutnya
disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan atau di
tempat berjalan yang teduh.[5]
Aristoteles
berpendapat bahwa tujuan akhir dari yang dikehendaki manusia mengenai segala
perbuatan adalah bahagia. Namun pengertiannya tentang konsep bahagia itu lebih
luas dan lebih tinggi. Menurutnya, untuk mendapatkan kebahagiaan, seseorang itu
hendaklah mempergunakan kekuatan akal dengan sebaik-baiknya.
Aristoteles
menciptakan teori serba tengah. Tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah, di
antara dua keburukan. Misalnya; dermawan adalah pertengahan antara boros dan
kikir. Keberanian adalah pertengahan antara membabi-buta dan takut.
Pada akhir
abad ke tiga M, tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama tersebut merubah
fikiran manusia dan membawa pokok-poko akhlak tersebut dalam Taurat. Memberi
pelajaran kepada manusia, bahwa Tuhan adalah sumber segala akhlak. Tuhan yang
membuat patok yang harus kita pelihara dalam hubungan kitaa dengan orang lain.
Dan Tuhan juga yang menjelaskan tentang arti baik dan jahat. (Ahmaddamin,
1975).
Baik menurut
arti yang sebenarnya adalah kerelaan Tuhan Allah, dan melaksanakan segala
perintahnya. Menurut ahli Filsafat Yunani, pendorong untuk melakukan perbuatan
baik ialah pengetahuan atau kebijaksanaan. Sedangkan menurut Agama Nasrani,
bahwa yang mendorong perbuatan baik adalah cinta kepada Allah, dan iman
kepada-Nya.
2. Etika Abad Pertengahan
Pada abad
pertengahan, Etika bisa dikatakan ‘dianiaya’ oleh Gereja. Pada saat itu, Gereja
memerangi Filsafat Yunani dan Romawi, dan menentang penyiaran ilmu dan
kebudayaan kuno.[6]
Gereja
berkeyakinan bahwa kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Dan apa yang
terkandung dan diajarkan oleh wahyu adalah benar. Jadi manusia tidak perlu lagi
bersusah-susah menyelidiki tentang kebenaran hakikat, karena semuanya telah
diatur oleh Tuhan.
Ahli-ahli
Filsafat Etika yang lahir pada masa itu, adalah paduan dari ajaran Yunani dan
ajaran Nasrani. Di antara mereka yang termasyur adalah Abelard (1079-1142 SM),
seorang ahli Filsafat Prancis. Dan Thomas Aquinas (1226-1270 SM), seorang ahli
Filsafat Agama dari Italia. (Ahmaddamin, 1975).
3. Etika Periode Bangsa Arab
Bangsa Arab
pada zaman jahiliah tidak mempunyai ahli-ahli Filsafat yang mengajak kepada
aliran atau faham tertentu sebagaimana Yunani, seperti Epicurus, Zeno, Plato,
dan Aristoteles.
Hal itu
terjadi karena penyelidikan ilmu tidak terjadi kecuali di Negara yang sudah
maju. Waktu itu bangsa Arab hanya memiliki ahli-ahli hikmat dan sebagian ahli
syair. Yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, mendorong
menuju keutamaan, dan menjauhkan diri dari kerendahan yang terkenal pada zaman
mereka.[7]
Namun sejak
kedatangan Islam, agama yang mengajak kepada orang-orang untuk percaya kepada
Allah, sumber segala sesuatu di seluruh alam. Allah memberikan jalan kepada
manusia jalan yang harus diseberangi. Allah juga menetapkan keutamaan seperti
benar dan adil, yang harus dilaksanakannya, dan menjadikan kebahagiaan di dunia
dan kenikmatan di akhirat, sebagai pahala bagi orang yang mengikutinya.
Di antara ayat Al-Quran yang berbicara mengenai Etika
adalah:
* ¨bÎ) ©!$# ããBù'tƒ ÉAô‰yèø9$$Î/ Ç`»|¡ômM}$#ur Ç›!$tGƒÎ)ur “ÏŒ 4†n1öà)ø9$# 4‘sS÷Ztƒur Ç`tã Ïä!$t±ósxÿø9$# Ìx6YßJø9$#ur ÄÓøöt7ø9$#ur 4 öNä3ÝàÏètƒ öNà6¯=yès9 šcrã©.x‹s? ÇÒÉÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS.
An-Nahl: 90)
Jadi Bangsa
Arab pada masa itu, telah puas mengambil etika dari agama dan tidak merasa
butuh untuk menyelidiki mengenai dasar baik dan buruk. Oleh karena itu, agama
banyak menjadi dasar buku-buku yang di lukiskan dalam etika. Seperti buku karya
Al-Ghazali dan Al-Mawardi.
Yang
termasyur melakukan penyelidikan tentang akhlak dengan berdasarkan ilmu
pengetahuan adalah Abu Nasr Al-Farabi, yang meninggal pada tahun 339 H.
demikian juga Ikhwanus Sofa, di dalam risalah brosurnya, dan Abu ‘Ali ibnu Sina
(370-428 H). mereka telah mempelajarai Filsafat Yunani, terutama pendapat
mengenai akhlak. (Ahmaddamin, 1975).
Penyelidik
Bangsa Arab yang terbesar mengenai Etika adalah Ibnu Maskawayh, yang wafat pada
421 H. dia mencampurkan ajaran Plato, Aristoteles, Galinus dengan jaran Islam.
Ajara Aristoteles banyak termasuk dalam kitabnya, terutama dalam penyelidikan
tentang jiwa.[8]
4. Etika Periode Abad Modern
Pada akhir
abad lima belas, Eropa mulai bangkit. Ahli pengetahuan mulai menyuburkan
Filsafat Yunani Kuno. Begitu juga dengan Italia, lalu berkembang ke seluruh
Eropa.
Pada masa
ini, segala sesuatu dikecam dan diselidiki, sehingga tegaklah kemerdekaan
berfikir. Dan mulai melihat segala sesuatu dengan pandangan baru, dan
mempertimbangkannya dengan ukuran yang baru.
Discartes,
seorang ahli Filsafat Prancis (1596-1650), termasuk pendiri Filsafat baru.
Untuk ilmu pengetahuan, ia menetapkan dasar-dasar sebagai berikut:
a. Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa akal dan
nyata adanya. Dan apa yang tumbuhnya dari adat kabiasaan saja, wajib ditolak.
b. Di dalam penyelidikan harus kita mulai dari yang
sekecil-kecilnya, lalu meningkat ke hal-hal yang lebih besar.
c. Jangan menetapkan sesuatu hukum akan kebenaran suatu
hal sehingga menyatakan dengan ujian.[9]
Namun di
antara ahli-ahli ilmu pengetahuan bangsa Jerman yang merupakan pengaruh besar
dalam akhlak ialah Spinoza (1770-1831), Hegel (1770-1831) juga Kant
(1724-1831).
0 comments: